Batam Pos 17/9/13: TIDAK bisa dipungkiri, Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 463, telah membawa akibat hukum terhadap berbagai transaksi bisnis, seperti realisasi perjanjian kredit antara konsumen dengan pengembang, antara pengembang dengan pihak perbankan, dan atau pihak perbankan dengan konsumen, dan pihak lainnya di Batam pada khususnya dan di Provinsi Kepulauan Riau pada umumnya, apalagi di bidang transaksi pembangunan rumah yang terindikasi terletak di dalam lokasi hutan lindung.
Tulisan ini tidak bertujuan menghitung kerugian yang telah nyata
ditimbulkan, sebagai akibat dari dikeluarkannya SK 463 yang sembarangan
dikeluarkan itu. Sekarang tidak perlu lagi menunjukkan sikap menghujat,
menggerutu, mengecam, marah-marah, dan lain sebagainya. Karena biar
bagaimanapun keputusan sudah keluar, dan merubahnya juga tidak semudah
membalikkan tangan. Tidak semudah mengecam, dan atau marah, karena semua
itu tidak dapat dianggap sebagai jalan keluar atau solusi. Maka
sekarang semua pihak pemangku kepentingan dapat duduk bersama dalam
suatu meja perundingan, untuk melakukan kajian hukum.
Menelitinya secara hukum, seraya mencari solusi alternatif, agar bisnis tetap jalan, dan tim Paduserasi juga dibentuk yang baru guna mengkonkritkan batas-batas yang dapat dikategorikan sebagai hutan dengan segala jenisnya, apakah itu hutan kota, hutan lindung, dan lain sebagainya.
Yang paling mendesak sekarang, adalah mencari solusi terhadap semua akibat hukum transaksi dengan alasan SK. Menhut No: 463 tersebut. Penundaan transaksi, karena bila pihak Notaris/Pejabat Pembuat Akte Tanah(PPAT) ”dilarang” dalam melakukan pembuatan dokumen Administrasi Pertanahan. Seperti akte jual beli dan atau perjanjian peminjaman uang dan dokumen lainya yang berkaitan dengan tanah yang di transaksikan. Maka, semua perusahaan/pegusaha yang bergerak di bidang property akan mengalami kebangkrutan, atau setidaknya pasti mengalami kerugian yang nyata.
Bahkan ada yang akan di adukan ke polisi sebagai penipu, karena ternyata lahan yang tadinya tidak bermasalah, justru di pertengahan jalan ternyata status terindikasi di atas hutan. Beberapa pengusaha telah mengeluh, sebagai akibat tindakan pihak perbankan yang menunda pencairan kredit kepada konsumen. Padahal uang muka sudah dipenuhi oleh konsumen. Karena sesuai tahapan yang disepakati dari awal antara pengembang dengan konsumen, jika uang muka sudah lunas rumah sudah selesai di bangun dan perjanjian kredit sudah harus di realisasikan. Selanjutnya kunci rumah sudah dapat diterima oleh konsumen, dan itu berarti mengurangi biaya kontrak rumah. Namun dengan adanya kejadian SK Menhut tersebut, semua harapan jadi sirna.
Akhirnya pengembang didemo, dimarahin konsumen, sedangkan pihak perbankan tidak bersedia mengambil risiko. Faktor kehati-hatian menjadi unsur yang terpenting dalam merealisasi suatu transaksi perbankan. Kalau sempat dianggap oleh pusat abai terhadap faktor kehatian-hatian yang di maksud, pejabat bank bisa langsung diberi evaluasi bahkan terkena sanksi jabatan. Begitu juga dengan pihak Badan Pertanahan Nasional yang ada di Batam, atau yang sering disebut Kantor Pertanahan Batam. Mereka tidak mau ambil resiko, juga mengambil sikap hati-hati, dengan mengeluarkan edaran kepada Notaris/PPAT di Batam untuk tidak melakukan transaksi Administrasi Pertanahan terhadap tanah yang terindikasi diatas Hutan. Sehingga disamping wajib melakuan pengecekan terhadap sertifikat, juga dapat tambahan lagi harus melakukan pengecekan dan atau pengelitian terhadap keberadaan suatu lahan yang akan ditransaksikan. Apakah di indikasikan di atas hutan atau tidak.
Padahal, sebelumnya semua administrasi pertanahan sudah di urus sesuai dengan prosedur yang ada. Namun dengan adanya SK. Menhut 463 yang bermasalah itu, semua seolah-olah tidak sesuai dengan prosedur. Padahal secara lisan Menteri Kehutanan sendiri telah nyata-nyata menyatakan akan merubah SK Menhut yang bermasalah itu, akan di revisi. Namun antara pernyataan lisan dengan realitas transaksi bisnis tidak bisa di samakan. Sebelum masalah ini makin memanas, bahkan bisa membakar, semua pihak harus duduk sama-sama, mencari solusi alternatif kalau tidak mau di katakan mencari terobosan. Karena istilah menerobos sendiri dapat di maknai sebagai tindakan yang bertentangan dengn ketentuan yang ada. Maka penulis mencoba menyebutnya sebgai tindakan mencari alternatif solusi dalam menghadapi surat keputusan menteri kehutanan yang bermasalah itu.
Karena semua pihak sudah satu pendapat bahwa SK Menhut yang di maksud telah nyata-nyata bermasalah. Kalau sudah bermasalah seharusnya dapat dianggap batal demi hukum. Maka sebelum mengambil tindakan merubah dan atau membatalkan atau apapun istilahnya, seharusnya transaksi bisnis dapat tidak berhenti, atau dapat berlangsung terus. Maka instansi seperti Kantor Pertanahan dan Perbankan dan OB/BP Kawasan dapat membuat nota kesepahaman, agar kegiatan atau tindakan/perbuatan transaksi dapat tetap berlangsung. Tetap diterima prosesnya di Kantor Pertanahan, di kantor Notaris PPAT, juga di pihak perbankan. Sebab inti pokok transaksi bisnis properti ini ada pada institusi yang diuraikan di atas.
Namun bila institusi tersebut saling lempar tanggung jawab dan cari selamat masing-masing, maka masalah ini dapat makin memanas. Mungkin karena masih baru, sekarang ini belum terasa di permukaan. Namun bila di biarkan lama, tidak di carikan solusi, maka kerugian pengembang akan makin banyak. Pihak perbankan juga ikut bermasalah, konsumen juga menuntut realisasi serah terima kunci dan atau sertifikat yang berkaitan dengan administrasi pertanahan, yang seharusnya menjadi hak konsumen. Begitu juga pihak-pihak di masyarakat yang ingin melakukan transaksi juga tidak dapat melanjutkannya. Maka ini akan dapat menjadi malapetakan besar.
Maka solusi yang diuraikan diatas dapat di jadikan bahan, agar di dalam pengkajian dan pembahasannya dapat menemukan solusi yang realistis, tampa melakukan pelanggaran terhadap prosedur yang diatur dalam kentuan perundang-undangan. Namun, sambil solusi yang diuraikan diatas dijalankan, penyelesaian pemetaan hutan di Batam juga harus dicarikan rumusan baru yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Mengingat kekhususan yang ada nyata di Batam, antara lain seluruh lahan di wilayah kerja BP Batam adalah di berikan dengan Hak Pengelolaan (HPL). Maka fungsionalisasi lahan untuk kepentingan pihak ketiga lainnya, baik itu investor. Dalam hal ini badan usaha dan atau perorangan haruslah mendapat kepastian hukum. Maka penetapan hutan pertama perlu dipertimbangkan di beri kewenangan kepada BP bersama-sama dengan Pemko Batam.
Bukan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Namun bila sudah ditetapkan dan disahkan oleh Menteri Kehutanan, untuk merubahnya barulah harus melalui prosedur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena keberadaan wilayah kerja BP Batam sudah terlebih dahulu ada sebelum undang-undang kehutanan yang baru diterbitkan. Maka dengan kekhususan yang ada kepastian hukum dapat diawali dengan penetapan peta dan lokasi hutan itu. Dalam hal ini BP dan Pemko Batam. Sekalipun pelaksanaan gagasan ini tidak mudah direalisasikan, namun bila dilakukan kajian dalam suatu naskah yang mampu menunjukkan, bahwa gagasan ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka dapat direalisasi dalam peraturan pemerintah. ***
Ampuan Situmeang
Praktisi Hukum, Berdomisili di Batam.
Menelitinya secara hukum, seraya mencari solusi alternatif, agar bisnis tetap jalan, dan tim Paduserasi juga dibentuk yang baru guna mengkonkritkan batas-batas yang dapat dikategorikan sebagai hutan dengan segala jenisnya, apakah itu hutan kota, hutan lindung, dan lain sebagainya.
Yang paling mendesak sekarang, adalah mencari solusi terhadap semua akibat hukum transaksi dengan alasan SK. Menhut No: 463 tersebut. Penundaan transaksi, karena bila pihak Notaris/Pejabat Pembuat Akte Tanah(PPAT) ”dilarang” dalam melakukan pembuatan dokumen Administrasi Pertanahan. Seperti akte jual beli dan atau perjanjian peminjaman uang dan dokumen lainya yang berkaitan dengan tanah yang di transaksikan. Maka, semua perusahaan/pegusaha yang bergerak di bidang property akan mengalami kebangkrutan, atau setidaknya pasti mengalami kerugian yang nyata.
Bahkan ada yang akan di adukan ke polisi sebagai penipu, karena ternyata lahan yang tadinya tidak bermasalah, justru di pertengahan jalan ternyata status terindikasi di atas hutan. Beberapa pengusaha telah mengeluh, sebagai akibat tindakan pihak perbankan yang menunda pencairan kredit kepada konsumen. Padahal uang muka sudah dipenuhi oleh konsumen. Karena sesuai tahapan yang disepakati dari awal antara pengembang dengan konsumen, jika uang muka sudah lunas rumah sudah selesai di bangun dan perjanjian kredit sudah harus di realisasikan. Selanjutnya kunci rumah sudah dapat diterima oleh konsumen, dan itu berarti mengurangi biaya kontrak rumah. Namun dengan adanya kejadian SK Menhut tersebut, semua harapan jadi sirna.
Akhirnya pengembang didemo, dimarahin konsumen, sedangkan pihak perbankan tidak bersedia mengambil risiko. Faktor kehati-hatian menjadi unsur yang terpenting dalam merealisasi suatu transaksi perbankan. Kalau sempat dianggap oleh pusat abai terhadap faktor kehatian-hatian yang di maksud, pejabat bank bisa langsung diberi evaluasi bahkan terkena sanksi jabatan. Begitu juga dengan pihak Badan Pertanahan Nasional yang ada di Batam, atau yang sering disebut Kantor Pertanahan Batam. Mereka tidak mau ambil resiko, juga mengambil sikap hati-hati, dengan mengeluarkan edaran kepada Notaris/PPAT di Batam untuk tidak melakukan transaksi Administrasi Pertanahan terhadap tanah yang terindikasi diatas Hutan. Sehingga disamping wajib melakuan pengecekan terhadap sertifikat, juga dapat tambahan lagi harus melakukan pengecekan dan atau pengelitian terhadap keberadaan suatu lahan yang akan ditransaksikan. Apakah di indikasikan di atas hutan atau tidak.
Padahal, sebelumnya semua administrasi pertanahan sudah di urus sesuai dengan prosedur yang ada. Namun dengan adanya SK. Menhut 463 yang bermasalah itu, semua seolah-olah tidak sesuai dengan prosedur. Padahal secara lisan Menteri Kehutanan sendiri telah nyata-nyata menyatakan akan merubah SK Menhut yang bermasalah itu, akan di revisi. Namun antara pernyataan lisan dengan realitas transaksi bisnis tidak bisa di samakan. Sebelum masalah ini makin memanas, bahkan bisa membakar, semua pihak harus duduk sama-sama, mencari solusi alternatif kalau tidak mau di katakan mencari terobosan. Karena istilah menerobos sendiri dapat di maknai sebagai tindakan yang bertentangan dengn ketentuan yang ada. Maka penulis mencoba menyebutnya sebgai tindakan mencari alternatif solusi dalam menghadapi surat keputusan menteri kehutanan yang bermasalah itu.
Karena semua pihak sudah satu pendapat bahwa SK Menhut yang di maksud telah nyata-nyata bermasalah. Kalau sudah bermasalah seharusnya dapat dianggap batal demi hukum. Maka sebelum mengambil tindakan merubah dan atau membatalkan atau apapun istilahnya, seharusnya transaksi bisnis dapat tidak berhenti, atau dapat berlangsung terus. Maka instansi seperti Kantor Pertanahan dan Perbankan dan OB/BP Kawasan dapat membuat nota kesepahaman, agar kegiatan atau tindakan/perbuatan transaksi dapat tetap berlangsung. Tetap diterima prosesnya di Kantor Pertanahan, di kantor Notaris PPAT, juga di pihak perbankan. Sebab inti pokok transaksi bisnis properti ini ada pada institusi yang diuraikan di atas.
Namun bila institusi tersebut saling lempar tanggung jawab dan cari selamat masing-masing, maka masalah ini dapat makin memanas. Mungkin karena masih baru, sekarang ini belum terasa di permukaan. Namun bila di biarkan lama, tidak di carikan solusi, maka kerugian pengembang akan makin banyak. Pihak perbankan juga ikut bermasalah, konsumen juga menuntut realisasi serah terima kunci dan atau sertifikat yang berkaitan dengan administrasi pertanahan, yang seharusnya menjadi hak konsumen. Begitu juga pihak-pihak di masyarakat yang ingin melakukan transaksi juga tidak dapat melanjutkannya. Maka ini akan dapat menjadi malapetakan besar.
Maka solusi yang diuraikan diatas dapat di jadikan bahan, agar di dalam pengkajian dan pembahasannya dapat menemukan solusi yang realistis, tampa melakukan pelanggaran terhadap prosedur yang diatur dalam kentuan perundang-undangan. Namun, sambil solusi yang diuraikan diatas dijalankan, penyelesaian pemetaan hutan di Batam juga harus dicarikan rumusan baru yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Mengingat kekhususan yang ada nyata di Batam, antara lain seluruh lahan di wilayah kerja BP Batam adalah di berikan dengan Hak Pengelolaan (HPL). Maka fungsionalisasi lahan untuk kepentingan pihak ketiga lainnya, baik itu investor. Dalam hal ini badan usaha dan atau perorangan haruslah mendapat kepastian hukum. Maka penetapan hutan pertama perlu dipertimbangkan di beri kewenangan kepada BP bersama-sama dengan Pemko Batam.
Bukan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Namun bila sudah ditetapkan dan disahkan oleh Menteri Kehutanan, untuk merubahnya barulah harus melalui prosedur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena keberadaan wilayah kerja BP Batam sudah terlebih dahulu ada sebelum undang-undang kehutanan yang baru diterbitkan. Maka dengan kekhususan yang ada kepastian hukum dapat diawali dengan penetapan peta dan lokasi hutan itu. Dalam hal ini BP dan Pemko Batam. Sekalipun pelaksanaan gagasan ini tidak mudah direalisasikan, namun bila dilakukan kajian dalam suatu naskah yang mampu menunjukkan, bahwa gagasan ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka dapat direalisasi dalam peraturan pemerintah. ***
Ampuan Situmeang
Praktisi Hukum, Berdomisili di Batam.